Zakat merupakan salah satu bentuk kegiatan filantropi Islam yang
bersifat wajib bagi setiap muslim. Setiap umat muslim yang memiliki
harta melebihi nisab yang telah ditentukan wajib untuk membayarkan
zakat. Yusuf Qardawy mendefinisikan zakat sebagai bagian dari harta yang
ditetapkan oleh Allah untuk dibagikan kepada golongan yang layak
mendapatkannya. Pihak yang berhak menerima zakat (mustahik) terdiri dari
delapan golongan, yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, budak, gharim,
fisabilillah, dan musafir. Para wajib zakat dapat membayarkan zakatnya
dalam bentuk materil baik uang tunai maupun barang lainnya sesuai dengan
karakteristik objek zakat.
Zakat yang dibayarkan oleh wajib zakat kepada mustahik memiliki
beberapa tujuan. Tujuan yang pertama adalah dalam bidang moral, yakni
zakat membuat golongan mampu mengurangi dan menghilangkan sifat
ketamakan dan keserakahan. Tujuan yang kedua adalah dalam bidang sosial,
yaitu membuat sesama umat muslim saling tolong menolong dalam kebaikan.
Terakhir, adalah dalam bidang ekonomi yakni mengurangi kesenjangan
antara golongan kaya dan miskin. Bentuk nyata dari tujuan ekonomi ini
adalah dengan memberikan zakat berbentuk uang tunai kepada para penerima
zakat.
Bentuk pendistribusian zakat berupa uang tunai yang dilakukan oleh
amil dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yakni zakat konsumtif dan
zakat produktif. Pengertian zakat konsumtif adalah zakat yang dananya
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari oleh para penerima
zakat. Bentuk pemenuhan kebutuhan pokok ini antara lain untuk membeli
makanan dan minuman, membayar biaya tempat tinggal, ataupun menutupi
utang. Efek yang dirasakan dari zakat konsumtif kepada para mustahik
hanya akan terasa pada saat zakat tersebut dibayarkan dan manfaatnya
langsung habis.
Sedangkan, zakat produktif memiliki karakteristik yang
cukup berlawanan dengan zakat konsumtif.
Zakat produktif adalah zakat yang dananya tidak hanya digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari para mustahik, tetapi dana tersebut
digunakan untuk aktivitas yang mendatangkan manfaat jangka panjang dan
berlipat-lipat. Hal tersebut akan membuat dana zakat diibaratkan sebagai
investasi masa depan yang akan memberikan kemaslahatan jangka panjang
bagi para penerimanya. Tentunya, hal ini akan memberikan kemandirian
pula kepada para penerima zakat.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim,
belum begitu menyadari urgensi penyaluran zakat secara produktif.
Mayoritas umat Islam masih membayarkan zakat yang penyalurannya hanya
untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif. Zakat konsumtif memang penting
karena membantu para mustahik untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya,
tetapi bukan berarti penyaluran dana zakat yang ada di Indonesia
seluruhnya diberatkan untuk kebutuhan konsumtif saja.
Penyaluran dana
zakat kepada aktivitas yang lebih produktif, didasarkan pada hadits
riwayat muslim yaitu ketika Rasulullah memberikan zakat kepada Umar bin
Al-Khatab yang bertindak sebagai amil zakat seraya bersabda “Ambilah
dahulu, setelah itu milikilah (berdayakanlah) dan sedekahlah kepada
orang lain dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini sedang
engkau tidak membutuhkannya dan bukan engkau meminta, maka ambillah. Dan
mana-mana yang tidak demikian maka janganlah engkau turutkan nafsumu.”
Dengan mempertimbangkan hikmah dan didukung dengan hadits diatas maka
tidak ada salahnya bagi kita semua untuk mengembangkan penyaluran zakat
produktif di Indonesia.
Sesuai dengan hukum di Indonesia, melalui UU No. 23 tahun 2011
tentang pengelolaan zakat Pasal 27, pengelolaan zakat dapat pula
digunakan untuk investasi pada usaha atau kegiatan produktif dengan
menggunakan akad qadrul hasan. Artinya, penyaluran zakat
produktif di Indonesia telah memiliki payung hukum dalam pelaksanaannya.
BAZNAS sebagai koordinator penyaluran zakat nasional telah memiliki
beberapa bukti nyata dalam mengembangkan zakat produktif. Salah satunya
dalam program Zakat Community Development (ZDC). Dalam program ini,
BAZNAS melakukan penyaluran dana zakat dalam beberapa pos, yakni ekonomi
sebesar 15%, pendidikan 20%, dakwah 14,8%, kesehatan 8,5%, dan sosial
41,2 % (Sumber: PUSKASBAZNAZ 2016).
Meskipun penyaluran dana zakat dalam bentuk kebutuhan sosial masih
mendominasi, BAZNAS telah berupaya melakukan penyaluran zakat produktif
di bidang ekonomi melalui pemberian dana modal untuk Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM) yang memiliki potensi berkembang, tetapi tersandung
keterbatasan dana. Selain memberikan bantuan modal, BASNAZ turut
memfasilitasi mentor bagi para masyarakat yang sedang menjalankan usaha
sehingga terdapat kontrol pada teknis pelaksanaan dan mempercepat
akselerasi dari perkembangan usaha masyarakat setempat. Hal ini
bertujuan untuk menciptakan kemandirian ekonomi pada masyarakat kecil di
Indonesia.
Selain dalam bidang ekonomi, bentuk nyata penyaluran zakat produktif
yang dilakukan oleh BAZNAS adalah melalui bidang pendidikan. Dana zakat
disalurkan dengan memberikan beasiswa pendidikan kepada anak-anak dari
keluarga yang memiliki keterbatasan. Pemberian zakat dalam bentuk
beasiswa diperbolehkan sesuai dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia
(MUI).
Berdasarkan keputusan tersebut, menuntut ilmu termasuk dalam
kegiatan berjuang di jalan Allah dan penerimanya termasuk dalam
fisabilillah yang merupakan salah satu asnaf. Pemberian beasiswa ini
bertujuan agar dengan pendidikan yang diberikan, anak-anak tersebut
nantinya akan menjadi generasi penerus yang dapat menyelamatkan
kehidupan keluarganya di masa depan.
Mengingat presentase masyarakat miskin di Indonesia masih menunjukkan
angka yang cukup tinggi (mencapai 27,76 juta orang pada September
2016), tidak ada salahnya apabila zakat produktif dicanangkan sebagai
salah satu alternatif program pengentasan kemiskinan. Zakat produktif,
selain dapat membantu masyarakat kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dapat pula mendorong kemandirian masyarakat dalam jangka
panjang dan akan menyelamatkan mereka dari kemiskinan.
Referensi:
PUSKASBAZNAS 2016
Komentar
Posting Komentar